Fiqih Keluarga


 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


 

Nikah merupakan amalan yang disyariatkan hal ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu wata'ala: "maka nikahilah wanita-wanita (lainnya) yang kalian senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak dapat berlaku adil, maka cukup seorang wanita saja, atau budak-budak yang kalian miliki." (An-Nisa': 3)

Pernikahan merupakan ibadah yang dengannya wanita muslimah telah menyempurnakan setengah dari agamanya serta akan menemui Allah dalam keadaan suci dan bersih. Hal ini seperti yang diriwayatkan dari Anas R. A, bahwa Rasullullah SAW telah bersabda yang artinya: Barang siapa yang diberi oleh Allah seorang istri yang sholehah, maka dia telah membantunya untuk menyempurnakan setengah dari agamanya. Untuk itu, hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada setengah lainnya.

Dari beberapa uraian di atas maka jelaslah bahwa pernikahan adalah suatu amalan yang disyariatkan dalam agama. Maka dari itu rukun dan syarat pernikahan akan terasa sangat penting karena bila syarat dan rukunnya tidak terpenuhi maka batallah pernikahan itu. Dan hubungan yang berlangsung akan menjadi zina.


 

B. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas akan menimbulkan suatu rumusan masalah:

1. Apakah sajakah rukun dan syarat pernikahan?


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB II

PEMBAHASAN

Rukun dan Syarat Pernikahan


 

Rukun dan syarat adalah sesuatu bila ditinggalkan akan menyebabkan sesuatu itu tidak syah. Di dalam rukun dan syarat pernikahan terdapat beberapa pendapat, yaitu sebagai contoh menurut Abdullah Al-Jaziri dalam bukunya Fiqh 'Ala Madzahib Al-'arba'ah menyebutkan yang termasuk rukun adalah Al-ijab dan Al-qabul dimana tidak ada nikah tanpa keduanya. Menurut Sayyid Sabiq juga menyimpulkan menurut fuqoha', rukun nikah terdiri dari Al-ijab dan Al-qabul sedangkan yang lain termasuk ke dalam syarat.

    Menurut Hanafiyah, rukun nikah terdiri dari syarat-syarat yang terkadang dalam Sighat, berhubungan dengan dua calon mempelai dan berhubugan dengan kesaksian. Menurut Syafiiyyah meliht syarat perkawinan itu ada kalanya menyangkut Sighat, wali, calon suami-istri dan juga Syuhud. Menurut Malikiyah, rukun nikah ada 5: wali, mahar, calon suami-istri, dan Sighat. Jelaslah para ulama tidak saja membedakan dalam menggunakan kata rukun dan syarat tetapi juga berbeda dalam detailnya. Malikiyah tidak menetapkan saksi sebagai rukun, sedangkn syafi'i menjadikan 2 orang saksi menjadi rukun.

    
 

    Menurut jumhur ulama rukun perkawinan ada 5, dan masing-masing rukun itu mempunyai syarat tertentu. Syarat dan rukun adalah :

  1. shighat (ijab-kabul)
  2. kedua calon mempelai
  3. wali
  4. saksi


 

Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 menyatakan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada : (1) Calon suami, (2) Calon istri, (3) Wali nikah, (4) Dua saksi, (5) Ijab dan Qobul.


 

  1. Shighat (Ijab-Qabul)

Pengertian akad nikah menurut KHI dalam pasal 1 bagian c akad nikah ialah: rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan Kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh 2 orang saksi.

Di dalam fiqh 'ala mazahibul 'arba'ah
syarat
Ijab-Qabul adalah:

  1. Jika dengan lafadz yang khusus seperti ankahtuka atau zawwajtuka
  2. Jika pengucapan Ijab-Qabul pada satu majlis
  3. Jika tidak bertentangan antara ijab dan Qobul. Contohnya ketika seorang wali mengatakan saya nikahkan kamu dengan anak perempuanku dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai, lalu calon suami menjawab saya terima nikahnya tapi saya tidak menyetujui mas kawin tersebut.
  4. Tidak boleh lafadz Ijab-Qabul terbatas waktu. Kalau lafadz Ijab-Qabul terbatas waktu maka hukumnya menjdi nikah mut'ah.

. Boleh dengan maknanya bagi orang selain Arab/'ajam.

Boleh menggunakan selain bahasa Arab asal bisa dipahami oleh kedua belah pihak.

Syarat bentuk kalimat ijab dan Qabul: para fuqaha' telah mensyaratkan harus dalam bentuk madzi (lampau) bagi kedua belah pihak. Atau salah satunya dengan bentuk madhi, sedangkan lainnya berbentuk mustaqbal (yang datang). Contoh untuk bentuk pertama adalah si wali mengatakan, Uzawwajtuka ibnatii (aku nikahkan kamu dengan putriku), sebagai bentuk madhi. Lalu si mempelai laki-laki menjawab, Qabiltu (aku terima), sebagi bentuk madhi juga. Sedangkan contoh bagi bentuk kedua adalah si wali mengatakan: Uzawwijuka ibnatii (aku akan menikahkanmu dengan putriku), sebagai bentuk mustakbal. Lalu si mempeli laki-laki menjawab: Qabiltu (aku terima nikahnya), sebagai bentuk madhi.

    Mereka mensyaratkan hal itu, karena adanya persetujuan dari kedua belah pihak merupakan rukun yang sebenarnya bagi akad nikah. Sedangkan Ijab dan Qabul hanya merupakan manifestasi dari persetujuan tersebut. Dengan kata lain kedua belah pihak harus memperlihatkan secara jelas adanya persetujuan dan kesepakatan tersebut pada waktu akad nikah berlangsung. Adapun bentuk kalimat yang dipakai menurut syari'at bagi sebuah akad nikah adalah bentuk madhi. Yang demikian itu, juga karena adanya persetujuan dari kedua belah pihak yang bersifat pasti dan tidak mengandung persetujuan lain.

    Di lain pihak, bentuk mustaqbal tidak menunjukkan secara pasti persetujuan antara kedua belah pihak tersebut pada saat percakapan berlangsung. Sehinggaa, jika salah seorang di antaranya mengatakan : Uzawwajtuka ibnatii (aku nikahkan kamu dengan putriku). Lalu pihak yang lain menjawab : Aqbalu nikahaha (aku akan menerima nikahnya). Maka, bentuk tersebut tidak dapat mensahkan akad nikah. Karena, kalimat yang dikemukakan mengandung pengertian yang bersifat janji, sedangkan perjanjian nikah untuk masa mendatang belum disebut sebagai akad pada saat itu.

    Seandainya mempelai laki-laki mengatakan zawwijnii ibnataka (nikahkan aku dengan putrimu), lalu si wali mengatakan : Zawwajtuha laka (aku telah menikahkannya untuk kamu). Maka dengan demikian akad nikah pada saat itu telah terlaksana. Karena, kata Zawwijnii (nikahkan aku) menunjukkan arti perwakilan dan akad nikah itu dibenarkan jika diwakili oleh salah satu dari kedua belah pihak.

    Menurut Kompilasi Hukum Islam :

pasal 27 :

  1. Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.

pasal 28 :

  1. Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan pada orang lain.

Pasal 29 :

(1) Yang berhak mengucapkan Qabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.

(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan Qabul nikah dapat dilakukan pada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

    

  1. Sifat-sifat/ syarat calon kedua mempelai yang baik


 

Sifat-sifat calon mempelai yang baik seperti yang digambarkan oleh nabi Muhammad ialah

تنكح المراءة لاربع لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها


 

"Nikahilah seorang wanita yang mempunyai ciri-ciri empat dari hartanya, dari keturunannya , dari dari kecantikannya, dari agamanya. Diriwayatkan oleh Bukhari".

Untuk syarat seorang laki-laki sama dengan sifat yang dimiliki oleh seorang wanita tinggal kebalikanya.

Syarat-syarat calon suami lainnya adalah:

  1. Tidak dalam keadaan ihrom, meskipun diwakilkan.
  2. Kehendak sendiri
  3. Mengetahui nama, nasab, orang, serta keberadaan wanita yang akan dinikahi.
  4. Jelas laki-laki

Syarat-syarat calon istri:

  1. Tidak dalam keadaan ihrom
  2. Tidak bersuami
  3. Tidak dalam keadaan iddah (masa penantian)
  4. Wanita.

Dalam undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal enam:

  1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai.
  2. Untuk melangsungkan pernikahan seorang yang belum mencapai umur 21 harus mendapat izin orang tua.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 15 ayat 1 menyatakan bahwa: untuk kemasahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 UU No 1 tahun 1974 yakni calon suami berumur 19 tahun dan calon istri sekurangnya berumur 16 tahun.

Dalam pasal 16 ayat 1: perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.


 


 

  1. Wali

Wali adalah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak syah nikah tanpa wali laki-laki.

Dalam KHI pasal 19 menyatakan wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

Dalam hadis nabi :

لا نكاح الا بولي وشاهدي عدل وما كان من نكاح غير ذالك فهو باطل


 

Yang artinya: Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. Jika ada pernikahan tanpa itu maka pernikahan itu dianggap batal. (HR. Ibnu Hiban)

    Syarat-syarat wali :

  1. Islam
  2. Sudah baligh
  3. Berakal sehat
  4. Merdeka
  5. Laki-laki
  6. Adil
  7. Sedang tidak melakukan ihram

yang diprioritaskan menjadi wali:

  1. Bapak.
  2. Kakek dari jalur Bapak
  3. Saudara laki-laki kandung
  4. Saudara laki-laki tunggal bapak
  5. Kemenakan laki-laki (anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung)
  6. Kemenakan laki-laki (anak laki-laki saudara laki-laki bapak)
  7. Paman dari jalur bapak
  8. Sepupu laki-laki anak paman
  9. Hakim bila sudah tidak ada wali –wali tersebut dari jalur nasab.


 

Bila sudah benar-benar tidak ditemui seorang kerabat atau yang dimaksud adalah wali di atas maka alternatif berdasarkan hadis Nabi adalah pemerintah atau hakim kalau dalam masyarakat kita adalah naib.


 

وعن سليمان ابن موسى عن الزهرى عن عروة عن عائشة رضى الله عنها ان النبى صلى الله عليه وسلم قال : ايما امراءة نكحت بغيراذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فاءن دخل بها فلها المهر بمااستحلى من فرجها فاءن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له.

Wanita manapun yang kawin tanpa seizing walinya, maka pernikahannya batal, pernikahannya batal. Bila (telah kawin dengan syah dan) telah disetubuhi, maka ia berhak menerima maskawin (mahar) karena ia telah dinikmati kemaluannya dengan halal. Namun bila terjadi pertengkaran diantara para wali, maka pemerintah yang menjadi wali yang tidak mempunyai wali.

Wali dapat di pindah oleh hakim bila:

  1. Jika terjadi pertentangan antar wali.
  2. Jika tidak adanya wali, ketidak adanya di sini yang dimaksud adalah benar-benar tidak ada satu kerabat pun, atau karena jauhnya tempat sang wali sedangkan wanita sudah mendapatkan suami yang kufu'.

Berdasarkan hadis nabi:

ثلاث لا يؤخرن. وهن: الصلاة اذا اتت, والجنازة اذا حضرت, والايم اذا وجدت كفؤا (رواه البيهقي و غيره عن علي)

Pasal 20 ayat 1 menyatakan yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni, muslim, aqil, baligh.

Wali nikah terdiri dari: wali nasab dan wali hakim.

Pada pasal 21 dibahas empat kelompok wali nasab yang pembahasanya sama dengan fikih Islam seperti pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki saudara kandung, seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerbat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

Menyangkut dengan wali hakim dinyatakan pada pasal 23 yang berbunyi:

  1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadiri atau tidak diketahui tempat tinggal atau ghaibnya atau 'adhalnya atau enggan.
  2. Dalam hal wali 'adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut.


 


 


  1. Saksi

Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Malik bersepakat bahwa saksi termasuk syarat dari beberapa syarat syahnya nikah. Dan ulama' jumhur berpendapat bahwa pernikahan tidak dilakukan kecuali dengan jelas dalam pengucapan ijab dan qabul, dan tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan saksi-saksi hadir langsung dalam pernikahan agar mengumumkan atau memberitahukan kepada orang-orang.

    KHI menyatakan Dalam pasal 24 ayat 1 saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.

Dalam KHI pasal 26 saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas dari nabi SAW bersabda:

لا نكاح الا بشاهدي عدل وولي مرشد

Dan sahabat tidak berselisih faham tentang hal itu.

    Syarat-syarat saksi : Islam, Baligh, Berakal, mendengarkan langsung perkataan Ijab-Qabul, dua orang laki-laki dan yang terpenting adil.

Abu Hanifah berpendapat bahwa jika pernikahan dihadiri oleh dua saksi yang fasik tidak apa-apa karena maksud saksi di sini adalah untuk pengumuman. Untuk Imam Syafii mempunyi pendapat bahwa saksi mengandung dua arti, yaitu pengumuman dan penerimaan jadi disyaratkan saksi yang adil.

Dalam KHI pasal 24 ayat 2: setiap perkawinan harus disaksikan 2 orang saksi.

    Dalam hal kesaksian seorang wanita, Syafiiyyah dan Hanabilah mensyaratkan dalam kesaksian adalah seorang laki-laki. Jika pernikahan saksinya adalah seorang laki-laki dan dua orang wanita maka tidak syah pernikahan itu berdasarkan hadis Nabi SAW:

ان لا يجوز شهادة النساء في الحدود, ولا في النكاح, ولا في الطلاق.

Yang artinya tidak diperbolehkan kesaksian seorang wanita dalam hukuman, pernikahan dan dalam percerian.

Tetapi Hanafiyah tidak mensyaratkan hal itu, dan berpendapat bahwa saksi adalah dua orang laki-laki atau dengan satu orang laki-laki dan dua orang wanita. Berdasarkan surat al Baqarah ayat 282:

وشتشهدوا شهيدين من رجالكم فاءن لم يكونا رجلين فرجل وامراتان ممن ترضون من الشهداء.

Artinya :


Persaksian dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu, jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.


 

    KHI menyatakan Dalam pasal 24 ayat 1: saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB III

KESIMPULAN

Pernikahan adalah suatu sunah Rasul yang dianjurkan bagi umatnya. Pernikahan tanpa adanya rukun tidak akan syah. Dan rukun pernikahan itu adalah:

  1. Calon suami
  2. Calon istri
  3. Wali
  4. Saksi (dua orang)
  5. Ijab dan Qabul


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

REFERENSI


 


 


 

  1. Syaikh Kamil Muhammad 'uwaidah, Fikih Wanita. terj. Abdul Ghoffar Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 2002


 

  1. Al-Jaziri, Abdurrahman. Fiqh 'Ala Madzahib al-'Arba'ah. Mesir: Al-Maktab At-Tijariyyati Al-Qubra


 


 

  1. UU RI nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawianan Dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung : Citra Umbara


 

  1. Yusmar, EM. Wanita dan Nikah Menurut Urgensinya. Kediri: Pustaka 'Azm


 

  1. Nurudin, Amirudin dan Azhari Kamal Tarigan. Hukum Perdata Islam di
    Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2004


 


 

Comments