Mema'afkan orang lain bukan Melupakan
Jakarta - Ada seorang anak perempuan, baru saja lulus kuliah. Dia cerdas, cantik, berasal dari keluarga yang berada dan cukup relijius. Di kampusnya dulu, banyak rekan-rekan prianya yang simpati dan ingin menjadikannya kekasih, tapi dia selalu tolak.
Bukan karena tidak suka, tapi dia ketakutan. Dia takut berhubungan dengan lawan jenis karena melihat ibundanya adalah orang tidak berbahagia dalam rumah tangganya. Dia trauma dengan apa yang dialami oleh orang yang dicintainya dan menghukum dirinya dengan menampik semua laki-laki yang datang.
Si perempuan muda ini sesungguhnya tidak anti dengan laki-laki, tapi karena melihat ayahnya melakukan sesuatu yang menurut dia tidak baik dan menyebabkan penderitaan, maka dia ikut merasa trauma. Dia tidak dapat percaya bahwa ayah yang dia percaya sangat baik, sangat penyayang, melakukan kekhilafan yang tidak bisa dia terima.
Menyakiti manusia lain memang bukan perkara mudah dalam kehidupan ini. Sebuah ungkapan dari seorang arif bijaksana mengatakan: "Jika kamu menyakiti orang lain yang mencintaimu, walau dengan kata-kata, artinya engkau sedang menancapkan paku di kayu yang lembek. Hunjamannya akan dalam sekali, dan kalaupun setelah itu menyadari dan paku itu dicabut kembali, maka bekasnya selamanya tidak akan hilang".
Mungkin kita sering menyarankan pada orang-orang yang sedang sakit hati, "Ya sudah, maafkan saja". Ternyata itu tidak semudah yang diucapkan. Menerima perlakuan menyakitkan dari orang yang kita cintai berlipat kali lebih sakit daripada dilakukan oleh orang lain.
Rasulullah Saw, sang pemimpin umat, ketika diterpa isu perselingkuhan istri tercintanya, Aisyah, sangat terpukul dan bahkan perlu waktu hingga sebulan untuk menenangkan diri. Walaupun pada akhirnya tidak terbukti karena memang itu adalah pekerjaan orang-orang munafik, tapi kegoncangan jiwa Rasulullah Saw sangat dirasakan oleh banyak sahabat.
Memaafkan, tapi tidak melupakan. Dengan demikian, kita akan tumbuh menjadi orang yang tabah sekaligus waspada. Dan yang terpenting, jagalah sikap kita semua. Jika kepada orang lain saja kita harus baik, seharusnya kepada orang yang kita cintai dan mencintai kita, sikap nya harus jauh lebih baik. Jangan sampai cinta kasih yang tulus yang dirangkai puluhan tahun rusak hanya karena peristiwa 5 menit. Naudzubillah.
*) Arifin Purwakananta, Direktur Program Dompet Dhuafa.
detik.com
Bukan karena tidak suka, tapi dia ketakutan. Dia takut berhubungan dengan lawan jenis karena melihat ibundanya adalah orang tidak berbahagia dalam rumah tangganya. Dia trauma dengan apa yang dialami oleh orang yang dicintainya dan menghukum dirinya dengan menampik semua laki-laki yang datang.
Si perempuan muda ini sesungguhnya tidak anti dengan laki-laki, tapi karena melihat ayahnya melakukan sesuatu yang menurut dia tidak baik dan menyebabkan penderitaan, maka dia ikut merasa trauma. Dia tidak dapat percaya bahwa ayah yang dia percaya sangat baik, sangat penyayang, melakukan kekhilafan yang tidak bisa dia terima.
Menyakiti manusia lain memang bukan perkara mudah dalam kehidupan ini. Sebuah ungkapan dari seorang arif bijaksana mengatakan: "Jika kamu menyakiti orang lain yang mencintaimu, walau dengan kata-kata, artinya engkau sedang menancapkan paku di kayu yang lembek. Hunjamannya akan dalam sekali, dan kalaupun setelah itu menyadari dan paku itu dicabut kembali, maka bekasnya selamanya tidak akan hilang".
Mungkin kita sering menyarankan pada orang-orang yang sedang sakit hati, "Ya sudah, maafkan saja". Ternyata itu tidak semudah yang diucapkan. Menerima perlakuan menyakitkan dari orang yang kita cintai berlipat kali lebih sakit daripada dilakukan oleh orang lain.
Rasulullah Saw, sang pemimpin umat, ketika diterpa isu perselingkuhan istri tercintanya, Aisyah, sangat terpukul dan bahkan perlu waktu hingga sebulan untuk menenangkan diri. Walaupun pada akhirnya tidak terbukti karena memang itu adalah pekerjaan orang-orang munafik, tapi kegoncangan jiwa Rasulullah Saw sangat dirasakan oleh banyak sahabat.
Memaafkan, tapi tidak melupakan. Dengan demikian, kita akan tumbuh menjadi orang yang tabah sekaligus waspada. Dan yang terpenting, jagalah sikap kita semua. Jika kepada orang lain saja kita harus baik, seharusnya kepada orang yang kita cintai dan mencintai kita, sikap nya harus jauh lebih baik. Jangan sampai cinta kasih yang tulus yang dirangkai puluhan tahun rusak hanya karena peristiwa 5 menit. Naudzubillah.
*) Arifin Purwakananta, Direktur Program Dompet Dhuafa.
detik.com
betul sahabat banyak yang masih sangat sulit untuk memberi maaf dengan berbagai alasan, meski demikian kita tetap harus terus belajar untuk memaafkan ...
ReplyDeleteTapi kadang saat memaafkan terlalu sulit, jalan terbaik untuk 'sembuh' adalah melupakan... Ketika udah sembuh, lebih mudah untuk membuka pintu maaf saat bertemu lagi...
ReplyDeleteEh, ini sih pengalaman saya lho :)
memaafkan kesalahan orang lain memang sangatlah sulit.
ReplyDeletetapi menurut saya memaafkan memiliki tingkatannya sendiri tergantung dengan kesalahan mereka.
oh. iya thx ya udah mau tukeran link dengan Entrimedia